Oleh Zaim Uchrowi
Pernah mendengar cerita katak Kalimantan yang menyeberangi Sungai Barito? Jika belum, cerita yang disampaikan Adi Sasono pada Silaknas ICMI, pekan lalu, layak disimak.
Dalam cerita itu, seorang gila bertemu dengan seorang profesor. Keduanya berbincang tentang katak. Yakni katak Kalimantan yang mampu melompat sejauh 50 cm. "Berapa lompatan yang diperlukan katak Kalimantan itu untuk sampai ke seberang sungai Barito?" tanya si gila itu. Sedangkan lebar Barito adalah 1.250 meter.
Dengan cepat, profesor itu menjawab. "2.500 lompatan," katanya. Menghitungnya sangat mudah. Jika katak itu dapat melompat setengah meter, maka jumlah lompatan yang diperlukan adalah dua kali jarak dalam meter.
Orang gila itu terkekeh-kekeh mendengar jawaban profesor. Yang diperlukan katak itu untuk sampai ke seberang, katanya, hanya dua lompatan. Yang pertama adalah melompat ke air. Setelah itu katak akan berenang. Sampai di ujung, katak baru akan melompat lagi ke daratan.
Saya, Anda, dan kita semua bisa seperti profesor itu. Pandai dalam logika, namun dungu terhadap realita. Dengan logika kita merasa mampu menjawab segalanya. Dengan logika, kita percaya dapat memecahkan seluruh masalah. Apalagi bila kita merasa tak cuma punya logika, namun hafal di luar kepala berbagai teori yang disebut buku-buku teks, dan memiliki segudang pengalaman. Persoalan apa yang tidak dapat kita atasi?
Keadaan bangsa ini sekarang adalah produk cara berpikir gaya profesor itu. Para perancang pembangunan kita sangat percaya pada logika, penguasaan teori, dan pengalamannya sendiri. Itulah kebenaran menurut mereka. Mereka memaksa bangsa ini menerima "kebenaran" itu.
Percaya pada yang cerdik pandai itu, seluruh bangsa lalu menelan bulat resep yang disodorkan. Hasilnya, rupiah terkapar dari Rp 2.500 ke titik Rp 16 ribu per dolar Amerika. Habibie sempat mengatrolnya kembali ke sekitar Rp 6.700. Pemerintahan sekarang yang mengaku kompeten membantingnya lagi ke tingkat Rp 10.500.
Hasilnya pula, rakyat harus memikul beban Rp 600 triliun yang dihamburkan negara untuk "menomboki" kelakuan segelintir konglomerat. Cuma kurang dari Rp 100 triliun kini yang tersisa. Rakyat juga harus menanggung beban hidup akibat tidak berharganya rupiah tersebut. Baik melalui kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan akhirnya seluruh harga barang.
Begitupun para pengambil kebijakan masih merasa benar dengan sikap "lucu"-nya. Mereka sibuk menjual BCA Rp 5 triliun dengan dalih "butuh uang", namun tak menganggap keliru langkah menggerojok bank itu dengan puluhan triliun rupiah. Mereka rela mengorbankan Semen Gresik demi uang receh dari Cemex.
Sikap pemerintahan Jakarta dan Bandung juga "luar biasa". Hari-hari ini, keduanya tengah melancarkan perang besar pada pedagang kaki lima. Kecuali di Glodok yang memang selalu "basah". Itu dilakukan ketika banyak orang terancam PHK. Pemerintah pun tak mampu membuat lapangan kerja.
Saya bukan profesor, bukan pula si gila. Di hari baru ini, kalau harus belajar pada mereka, saya akan belajar dari si gila. Ia, sepertinya, tak punya apa-apa. Namun ia memiliki wisdom, yang membuatnya selalu mampu mencermati realita. Realitalah, bukan kata-kata, yang merupakan kebenaran
Website>> : WWW.DAGANGKU.COM
0 komentar